Kamis, 16 September 2010

PILAR PILAR TAUHID MENUJU KEBENARAN SEJATI

Di dalam Kehidupan ini segala sesuatunya serba berpasang-pasangan. Jika ada siang pasti ada malam, ada gelap dan ada terang, ada Laki-laki dan ada perempuan, ada benar dan ada salah, ada baik dan ada buruk, ada halal dan ada haram, ada untung dan ada rugi, ada langit dan ada bumi, ada surga dan ada neraka, ada hidup dan ada mati, ada Nyata dan ada Ghoib, ada Zahir dan ada Bathin, ada yang “ADA” dan ada pula yang “TIADA”, dll……dll……….dl. Juga termasuk dalam sifat pun berpasang-pasangan seperti ada suka dan duka, ada tangis dan tawa, ada marah dan sabar, dll……..dll……..dll.
Sempurnanya Hidup jika yang berpasang-pasangan itu ada pada diri manusia, dan kesempurnaan itu di dapatkan apabila sang diri bisa membawa diri pada jalur Tengah diantara keduanya…. Artinya tetap tegak pada yang mengadakan ke dua hal yang berpasang-pasangan itu yaitu Tuhan Seru Sekalian Alam (Allah Swt).
Dan itulah pentingnya…… Ketauhidan, agar manusia berjalan di muka Bumi ini dalam mengarungi Hidup senantiasa terpelihara dari sifat berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan sesuatu tanpa sadar bahwa hanya Sang Hyang Kuasa lah (Allah Swt) sebenar2nya yang memiliki ke Agungan itu.
Banyak yang terjebak dari segala sesuatu sifat yang berpasang-pasangan itu, dengan berambisi untuk mendapatkan tujuan itu hanya semata-mata untuk memuaskan Diri nya sendiri, begitu pula ada yang berusaha sekuat tenaga dengan mempertahankan dirinya agar terhindar dari segala sesuatu yang membuat dirinya merugi. Saya katakan….. bahwa itu semua tidak lah salah!!!!, dan baik sekali. Akan tetapi jika itu semua di sandarkan pada Daya Upaya nya sendiri dengan merasa bisa berbuat sesuatu maka itulah mereka-mereka yang terjebak oleh ke DIRI an/ke EGO an yang ada pada dirinya (Hawa Nafsu).
Terus bagaimana dengan yang mengatakan bahwa : di Al-Qur’an…bukannya sudah di Firmankan bahwa : Apabila yang baik-baik dan benar itu datang dari pada Allah dan yang tidak baik atau yang buruk-buruk datang dari diri sendiri..????, bahkan yang menyampaikan itu buka hanya satu dua orang tetapi setiap Ustadz-ustadz, Kyai, Syech dan Majelis-majelis Ulama pun mengatakan demikian…. Lalu apakah masih bisa di bantah…???!!!!

Sungguh… Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya, akan tetapi yang perlu di renungkan adalah bahwa yang datang dari pada Allah itu sudah pasti Benar adanya dan tidak ada keragu-raguan di dalamnya dan hal itu berlaku bagi mereka-mereka yang telah tumbuh kesadaran di dirinya bahwa Allah senantiasa menyertainya di setiap langkahnya dari buka mata sampai tutup mata kembali 24 jam sehari semalam. Jika Allah senantiasa menyertainya dimana pun ia berada tentunya Allah akan memelihara dirinya dari pada keburukan-keburukan dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik dengan cinta kasih Allah atas dirinya. Dan kalau toh mereka itu lalai, bukan disebabkan ke DIRI an/ke EGO an (Hawa Nafsu) melainkan karena Fitrah dirinya memang dalam keadaan lupa. Tentunya Allah akan mengingatkan dirinya bahwa ia telah salah dan seketika itu akan membuat ia sadar bahwa kesalahan itupun datang dari pada Allah untuk mendidik ia tentang kebenaran dibalik kesalahan itu yang membuat dirinya semakin mengetahui akan Cinta Kasih Allah Amat sungguh-sungguh tiada taranya. Tentunya mereka itu adalah orang-orang yang telah tertanam pada dirinya ke Tauhidan yang sebenar-benarnya. Sehingga kesalahan yang terjadi atas dirinya karena kelalaiannya tadi bukan lah suatu hal yang buruk baginya melainkan suatu hal yang baik bagi dirinya, karena di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran dari Allah untuk di renungkan olehnya.
Adapun mereka yang tidak mengetahui akan ke Tauhidan itu, setiap waktunya dan setiap saatnya dalam ke adaan lalai karena ia merasa berbuat dengan daya upaya nya sendiri. Jangankan perbuatan-perbuatan atau kelakuan-kelakuan yang sudah nyata salah dan buruk, perbuatan baikpun, perbuatan yang benar pun seperti halnya menolong orang, baik dengan tamu, sopan santun, mencintai orang lain, bahkan termasuk amal ibadah sekalipun di dalam Sholatnya, Puasanya, Zakatnya, Hajinya, Wirid, Tasbih dll……..dll………dll……….., itu semua adalah BATIL, karena ia berbuat kebaikan itu di dasari oleh ke DIRI an/ke EGO an nya (Hawa Nafsu) dan itu semua terjadi karena ia lalai dari pada Kebenaran di balik ke DIRI an/ke EGO annya (Hawa NAfsu).
Jika demikian…… Sangat-sangat penting sekali Tahuid itu ya….????
BENAR..!!!!, Bahkan sangat berarti dan bermakna sekali dalam penerapan Hidup baik di Dunia maupun di Akhirat, agar tidak tertipu daya oleh ke DIRI an/ke EGO an (Hawa Nafsu) yang ada pada dirinya. Jadi intinya adalah…. Bahwa ke DIRIan/ ke EGO an (Hawa Nafsu) itu bukan hanya membawa dirinya kepada hal-hal yang tidak baik saja melainkan juga membawa dirinya kepada hal-hal yang baik dan benarpun dalam hidup baik dari segi sosial maupun dalam Amal Ibadah. Segala sesuatu pekerjaan atau perbuatan bila di dasari oleh ke DIRI an/ke EGO an (Hawa Nafsu), itu semua adalah BATIL. Dan itulah makna dari pada : “Kebaikan itu datang dari sisi Allah, dan keburukan itu datang dari diri sendiri”. Yang di maksud dengan diri sendiri adalah perbuatan yang dilakukan karena ke DIRI an/ke EGO an (Hawa Nafsu)nya. Dan itu di sebabkan karena ia senantiasa dalam ke adaan lalai dari pada Ketauhidannya kepada Allah. Sedangkan segala sesuatu selain Allah adalah BATIL dan tidak KEKAL.

Allah Swt ber firman :
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”. (QS, An Nahl : 96)

Katakanlah : “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah”. Katakanlah : “Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?”. Katakanlah : “Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah : “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”. (QS, Ar Ra’d : 16)

Wahai Insan…!!!!,
Beratuhidlah engkau….. dalam Kehidupanmu, dalam Gerak dan Diammu, Dalam Tidur dan Jagamu, dalam Sehat dan Sakitmu dan di setiap hari dari buka mata sampai tutup matamu begitupun juga dalam Amal Ibadahmu agar engkau tiada tertipu oleh sesuatu apapun yang ada pada ke DIRI an/ke EGO an (Hawa Nafsu)mu. Cukuplah….. Allah sebagai penglihatanmu, pendengaranmu, penciumanmu, perkataanmu dan nyawamu, masuk didalam ketauhidan Allah yang meliputi tiap-tiap segala sesuatu.
Dan untuk masuk dalam Ketauhidan yang demikian, maka bermula dengan mengenal terlebih dahulu kepada Allah Swt lalu kemudian dapatlah mentauhidkan-Nya. Mengenal dengan sebenar-benarnya pengenalan yaitu tidak hanya sebatas Teori belaka tetapi lebih pada merasakan kehadiran Allah Swt dekat sekali pada dirimu dan meliputi yang di luar dirimu. Yaitu dengan Rasa Pengrasa lah engkau benar-benar merasakan kehadiran-Nya bukan dengan merasa-rasakan, sebab merasa-rasakan itu adalah hanya bermain di logika Akal semata yang masih suka menimbang-nimbang iya atau tidak, benar atau salah…..
Adapun Rasa Pengrasa itu terdapat pada KESADARAN DIRI, karena mengerti bahwa memang Allah senantiasa Hadir dari dulu sampai sekarang dan sampai akan datang di setiap waktu. Hadir bukan karena di Hadir-hadirkan tetapi memang sudah QIDAM/SEDIA dalam ke Hadirannya, itulah Ma’rifat yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya yaitu MA”RIFATULLAH namanya.
Dan setelah masuk dalam MARIFATULLAH yang demikian lalu dalam Haqqul Yaqin (Kebenaran ke Yakinan) tertanam Ketauhidan yang Sejati di balik segala sesuatu yang berpasang-pasangan, seperti yang sudah di uraikan di atas mengenai Kehidupan ini segala sesuatunya serba berpasang-pasangan. Jika ada siang pasti ada malam, ada gelap dan ada terang dst….dst….dst…
Di dalam Ketauhidan yang Sejati disitulah KEBENARAN SEJATI yang terlepas dari sifat yang berpasang-pasangan namun meliputi yang berpasang-pasangan. Bukan “A” dan Bukan “B”, tetapi meliputi “A” dan “B”. Bukan “INI” dan “ITU”, tetapi meliputi “INI” dan “ITU”. Itulah Al-Haq Bil-Haq dalam Maqom Laa Maqom (tempat yang tiada bertempat).
Dan untuk berjumpa dengan KEBENARAN SEJATI itu maka haruslah dikenali dan dimengerti serta lebur dalam Rasa Pengrasa pada “PILAR-PILAR TAUHID”, yaitu :
- Tauhidul Af’al (Esa dalam Af’al/perbuatan Allah)
- Tauhidul Asma’ (Esa dalam Nama Allah)
- Tauhidus Shifat (Esa dalam Sifat Allah)
- Tauhiduz Zat (Esa dalam Zat Allah)
Lalu…… bisakah semua Insan sampai pada Ketauhidan yang demikian…?????
Bisakah dan mampukah diri yang penuh dengan dosa ini masuk dalam Tauhid yang demikian…?????
Bisakah dan sanggupkah diri yang bodoh ini memahami Tauhid yang demikian…?????
Jawabnya….. Allah tidak pernah menutup diri-Nya kepada siapapun juga, dan tidak pernah merahasiakan diri-Nya kepada siapapun juga. Karena Allah itu Amat Maha Nyata senyata-nyatanya dan Maha menyatakan tiap-tiap segala sesuatu. Jadi tidak ada yang mustahil bagi siapapun untuk sampai kepada-Nya, tinggal manusia nya saja untuk pertama kalinya dan awal-awal sekali sebelum menuju kepada-Nya dalam MA”RIFATULLAH dan TAUHIDULLAH agar berserah diri dengan sebenar-benarnya penyerahan dan menenggelamkan dirinya dalam penyerahan diri itu yaitu menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa dirinya “Laa… Hawla Wa Laa….Quwwata Illaa Billaahil ‘Aliyyil Adziiim”. Dan untuk masuk dalam kesadaran yang demikian maka jalannya dengan mengenal akan Hakikat Ruh. bisa di baca di : KESADARAN AKAN RUH AWAL MENGENAL ALLAH
Semoga Allah senantiasa membimbing Nur-Nya kedalam Hati kita semuanya dan menuntun kita untuk dapat berserah diri sepenuhnya dalam Penyerahan Diri “Laa… Hawla Wa Laa….Quwwata Illaa Billaahil ‘Aliyyil Adziiim”, yang pada akhirnya akan sampai kepada perjumpa’an dengan Allah Swt.

Allah memberkati kita semuanya dan senantiasa beserta kita di mana pun kita berada.

Salam Takzim

Rabu, 15 September 2010

Prasangka

Oleh : Achmanto Mendatu

Menurut Erich Fromm, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang membiarkan anggota-anggotanya mengembangkan cinta satu sama lain. Sedangkan masyarakat yang sakit menciptakan permusuhan, kecurigaan, dan ketidaksalingpercayaan anggota-anggotanya (dalam Schultz, 1991). Senada dengan Fromm, J.E. Prawitasari dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada fakultas Psikologi UGM tahun 2003, menyampaikan bahwa kriteria masyarakat yang sehat secara sosiopsikologis diantaranya adalah bila masyarakat mampu bercinta, yaitu mampu menggunakan cinta kasihnya untuk menumbuhkan perdamaian di antara sesama manusia. Kriteria sehat lainnya adalah bila masyarakat mampu bekerja, mampu belajar dan mampu bemain. Mendasarkan pada kriteria ini, tampak jelas bahwa adanya prasangka yang luas di masyarakat merupakan indikasi jelas ketidaksehatan sosiopsikologis dalam masyarakat bersangkutan. Hal ini karena prasangka menumbuhkan kecurigaan, ketidakpercayaan, dan permusuhan. Prasangka juga menghalangi anggota-anggota masyarakat untuk mengembangkan cinta satu sama lain di antara anggota-anggota masyarakat dan untuk menyebarkan perdamaian.

Banyak pihak yang menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat berprasangka. Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar. Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah heterophobia. Segala sesuatu yang baru dan berbeda dari umumnya orang akan ditanggapi dengan penuh kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam.

Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok (Baron & Byrne, 1991). Misalnya karena pelaku pemboman di Bali adalah orang Islam yang berjanggut lebat, maka seluruh orang Islam, terutama yang berjanggut lebat, dicurigai memiliki itikad buruk untuk menteror. Sementara itu, Daft (1999) memberikan definisi prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. Soekanto (1993) dalam ‘Kamus Sosiologi’ menyebutkan pula adanya prasangka kelas, yakni sikap-sikap diskriminatif terselubung terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu. Prasangka ini ada pada kelas masyarakat tertentu dan dialamatkan pada kelas masyarakat lain yang ada didalam masyarakat. Sudah jamak kelas atas berprasangka terhadap kelas bawah, dan sebaliknya kelas bawah berprasangka terhadap kelas atas. Sebagai contoh, jika kelas atas mau bergaul dengan kelas bawah maka biasanya kelas atas oleh kelas bawah dicurigai akan memanfaatkan mereka. Bila kelas bawah bergaul dengan kelas atas dikira oleh kelas atas akan mencuri dan sebagainya.

Sebagai sebuah sikap, prasangka mengandung tiga komponen dasar sikap yakni perasaan (feeling), kecenderungan untuk melakukan tindakan (Behavioral tendention), dan adanya suatu pengetahuan yang diyakini mengenai objek prasangka (beliefs). Perasaan yang umumnya terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung benci. Kecenderungan tindakan yang menyertai prasangka biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan verbal seperti menggunjing, dan berbagai tindakan negatif lainnya. Sedangkan pengetahuan mengenai objek prasangka biasanya berupa informasi-informasi, yang seringkali tidak berdasar, mengenai latar belakang objek yang diprasangkai. Misalnya bila latar belakang kelompoknya adalah etnik A, maka seseorang yang berprasangka terhadapnya mesti memiliki pengetahuan yang diyakini benar mengenai etnik A, terlepas pengetahuan itu benar atau tidak.

Prasangka merupakan salah satu penghambat terbesar dalam membangun hubungan antar individu yang baik (Myers, 1999). Bisa dibayangkan bagaimana hubungan interpersonal yang terjadi jika satu sama lain saling memiliki prasangka, tentu yang terjadi adalah ketegangan terus menerus. Padahal sebuah hubungan antar pribadi yang baik hanya bisa dibangun dengan adanya kepercayaan, dan dengan adanya prasangka tidak mungkin timbul kepercayaan. Sehingga adalah muskil suatu hubungan interpersonal yang baik bisa terbangun. Dalam konteks lebih luas, kegagalan membangun hubungan antar individu yang baik sama artinya dengan kegagalan membangun masyarakat yang damai.

Menurut Poortinga (1990) prasangka memiliki tiga faktor utama yakni stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka cenderung melakukan diskriminasi. Sementara itu Sears, Freedman & Peplau (1999) menggolongkan prasangka, stereotip dan diskriminasi sebagai komponen dari antagonisme kelompok, yaitu suatu bentuk oposan terhadap kelompok lain. Stereotip adalah komponen kognitif dimana kita memiliki keyakinan akan suatu kelompok. Prasangka sebagai komponen afektif dimana kita memiliki perasaan tidak suka. Dan, diskriminasi adalah komponen perilaku.

Stereotip

Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.

Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, & Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. Misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.

Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip (Brisslin,1993). Misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson & Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara,:
  1. Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
  2. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. ndividu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.
  3. Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
  4. Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.
Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai stereotip, yaitu:
  • Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
  • Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
  • Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut.
Jarak Sosial

Jarak sosial adalah suatu jarak psikologis yang terdapat diantara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan kontak sosial yang akrab. Jauh dekatnya jarak sosial seseorang dengan orang lain bisa dilihat dari ada atau tidaknya keinginan-keinginan berikut :
1) Keinginan untuk saling berbagi,
2) Keinginan untuk tinggal dalam pertetanggaan,
3) Keinginan untuk bekerja bersama,
4) Keinginan yang berhubungan dengan pernikahan.

Pada umumnya prasangka terlahir dalam kondisi dimana jarak sosial yang ada diantara berbagai kelompok cukup rendah. Apabila dua etnis dalam suatu wilayah tidak berbaur secara akrab, maka kemungkinan terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Sebaliknya prasangka juga melahirkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka yang timbul maka semakin besar jarak sosial yang terjadi. Jadi antara prasangka dan jarak sosial terjadi lingkaran setan.

Sampai saat ini masih mudah ditemui adanya keengganan orangtua bila anak-anaknya menikah dengan orang yang berbeda etniknya. Masih mudah pula ditemui orangtua yang membatasi pilihan anak-anaknya hanya boleh menikah dengan etnis sendiri atau beberapa etnis tertentu saja, sementara beberapa etnis yang lain dilarang. Kenyataan seperti itu merupakan cerminan dari adanya prasangka antar etnik. Saya pernah mendengar secara langsung ada petuah orang tua pada anaknya laki-laki, yang kebetulan etnis jawa, untuk tidak mencari jodoh etnis Dayak, etnis Minang, dan etnis Sunda. Diluar ketiga etnis itu dipersilahkan, tetapi lebih disukai apabila sesama etnis jawa.

Diskriminasi

Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau,1999). Misalnya banyak perusahaan yang menolak mempekerjakan karyawan dari etnik tertentu. Lalu ada organisasi yang hanya mau menerima anggota dari etnik tertentu saja meskipun jelas-jelas organisasi itu sebagai organisasi publik yang terbuka untuk umum. Contoh paling terkenal dan ekstrim dalam kasus diskriminasi etnik dan ras terjadi di Afrika Selatan pada tahun 80-an. Politik aphartheid yang dijalankan pemerintah Afrika Selatan membatasi akses kulit hitam dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Diskriminisi ras itu dikukuhkan secara legal melalui berbagai peraturan yang sangat diskriminatif terhadap kulit hitam. Misalnya anak-anak kulit hitam tidak boleh bersekolah di sekolah untuk kulit putih, kulit hitam tidak boleh berada di tempat-tempat tertentu seperti hotel, restoran dan tempat publik lainnya. Kulit hitam juga tidak boleh naik kendaraaan umum untuk kulit putih, dan bahkan tidak boleh memasuki wilayah pemukiman kulit putih.

Liliweri (1994) menemukan bahwa diskriminasi antar etnik terjadi di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Perumahan, asrama, penginapan ada yang khusus diperuntukkan bagi etnik tertentu saja. Di sana, etnik-etnik tertentu terkonsentrasi di pemukiman tertentu dan memiliki konsentrasi pada jenis pekerjaan, unit dan satuan kerja tertentu. Sebagai misal, mayoritas pegawai kantor gubernur adalah orang Flores, sedangkan di Universitas Cendana mayoritas pegawainya orang Rote dan Sabu. Akan sulit orang Flores masuk menjadi pegawai di Universitas Cendana, demikian juga sebaliknya.

Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut.
Powered by Blogger & Blog